Jumat, 31 Januari 2014

bangku batu abu-abu

Kemarin hujan turun membasahi bumi. Disitu, dikursi itu aku duduk terdiam merenungi apa yang aku lakukan hari kemarin.
Aku sudah terbiasa menyendiri disitu. Di bangku yang terbuat dari batu berwarna abu-abu. Disitulah aku memulai segala ceritaku. Disitulah aku meluhat akan indahnya langit malam bertabur bintang.
Kali ini aku memikirkan sesuatu yang menurut orang lain hal yang sepele, tapu bagiku ini penting untukku. Saat aku menyadari akan indahnya cinya dan pedihnya patah hati. Aku merasakan keduanya. Ya, aku merasakan keduanya dalam waktu yang singkat. Sesingkat acara gosip yang setiap pagi ditanyangkan.
Cinta.. cinta memang indah. Berjuta rasanya. Membuat buta. Tak kenal kasta. Cinta.. kata orang rasanya seperti kopi panas. Kata orang rasanya seperti coklat. Kata orang rasanya seperti gula.
Cinta seperti kopi, ada pahit dan manis. Cinta seperti coklat, ada rasa manis dan leleh jika terkena panas.
Cinta seperti gula, manis sekali.
Tapi bagiku, aku tak bisa mengibaratkan cinta seperti kopi ataupun coklat ayaupun gula. Bagiku, cinta ya cinta. Cinta ya perasaan seseorang.
Ah, memang cinta itu tidak bisa digambarkan dengan apapun.
Tapi, menyakitkan bila cinta dikhianati oleh seseorang yang memberikan cinta. Cinta berubah menjadi patah hati. Patah hati, kata orang itu seperti ditusuk beribu-ribu pisau. Kata orang seperti disiram air keras. Patah hati pedih, sedih, sakit, menusuk...
Perihnya perasaan seseorang ketika patah hati. Menangis, berteriak, bunuh diri, gila. Patah hati membuat moral manusia berbalik 360 derajat.

Aku tak habis pikir dengan kelakuan mereka. Buatku patah hati itu dikhianati, dicampakkan. Tapi tak membuat moralku berbalik 360 derajat. Aku mulai berpikir tentang jalan hidupku selanjutnya. Bukan tentang cinta mungkin atau bukan tentang patah hati. Aku sering bertanya dalam hatiku, bagaimana bila tidak ada cinta jadi tidak ada patah hati.. bagimana bila tak ada patah hati jadi tidak ada cinta..
Ah mungkin hanya sekedar pertanyaan bodoh. Aku masih dibangku itu, duduk dan merenung. Entah sampai kapan aku berhenti duduk disana. Bangku batu abu-abu menemaniku setia mendengarkan semua keluhku, membaca semua ceritaku.
Bangku batu abu-abu